Minggu, 12 April 2009

Pemilihan Umum 9 April 2009

Pemilihan Umum tahun 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia. Istilah yang dipakai 'pemilihan umum' tanpa disingkat menjadi akronim PEMILU seperti yg akhirnya digunakan sampai sekarang, membawa-bawa kebiasaan Orba yang hobby meng-akronimkan segala sesuatu sesuai dalam bahasa komando untuk lingkungan terbatas. Penggunaan singkatan menimbulkan kerugian tersendiri secara kognitif. Gagasan yg hendak disampaikan menjadi kabur karena hubungan antara representasi dengan apa yg direpresentasikan tidak lagi bersifat langsung. Orang harus berpikir dulu bhwa PEMILU berarti 'pemilihan umum' dan kemudian berpikir tentang makna istilah itu. Istilah 'pemilihan umum' menunjuk dua konteks yg berbeda, bahkan bertentangan. Kata 'pemilihan' menunjuk suatu konteks terbatas, sementara kata 'umum' menunjuk konteks yang terbuka. Kata 'pemilihan' menunjuk lingkup dari beberapa orang tertentu, sedangkan kata 'umum' melibatkan semua orang. Dalam praktiknya, 'umum' berarti 'semua warga negara yg memenuhi syarat hukum & syarat administratif untuk memberikan suara, sedangkan 'pemilihan' merujuk kepada sejumlah orang yg dianggap mampu dan layak menjadi wakil rakyat. Demikian tulisan Ignas Kleden, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi di harian Kompas edisi spesial Pemilu tgl 10 April 2009 lalu. Saya sepakat dalam hal ini. Bahkan, bukan hanya istilahnya saja yang 'membingungkan awam, dalam pelaksanaannya kali ini, saya juga termasuk kelompok massa yg bingung. Ada banyak partai. Bendera. Belum lagi spanduk dan plang-plang bergambar 'wajah' caleg berwajah ayu sampai yg berkumis dgn senyum super 'jaim'nya. Di sepanjang jalan segala 'asesoris kampanye partai' itu membuat suasana terlalu 'meriah'. Bukannya menarik, saya, jujur saja, malah pusing. Ditambah lagi 'serangan rayuan maut via sms yg masuk ke ponsel saya, ajakan untuk mencontreng lambang partainya. Belum lagi acara tv, iklan di koran satu halaman penuh dan lain-lain. Sekali lagi, jujur saja, akhirnya itu membuat saya 'kekenyangan'. Ada benarnya apa yg dikatakan Yasraf Amir Piliang, pemikir di Fsk FSRD ITB Bandung. Ini pesta 'hiperdemokrasi'. Semua wacana politik tumbuh melampaui batas-batas ideal, sehingga terjadi apa yg disebut 'OBESITAS DEMOKRASI' yg berakibat pada nihilisme, kehilangan esensi, makna, dan tujuannya sendiri. 'Obesitas demokrasi' ditunjukkan oleh 'over fragmentasi' yaitu terlalu mikronya diferensiasi partai sehingga menciptakan fragmen-fragmen partai yg menyulitkan pembedaan atau 'micro difference'. Overfragmentasi menciptakan defragmentation of ideology, yaitu terbentuknya kondisi 'fatalis-nihilis', lenyapnya batas-batas di antara elemen politik sehingga batas ideologis antara partai 'nasionalis' satu dan lainnya, partai 'demokrasi' satu dan lainnya atau partai 'keagamaan' satu dan lainnya menjadi kabur. Terlalu banyak gambar, lambang, simbol, foto, maskot, figur yg menimbulkan turbulensi pada tingkat kognitif, afektif dan semiotik. Jadi adalah sangat wajar jika pada hari 'H' pemilihan umum berlangsung, masyarakat yang 'berada dalam keadaan kekenyangan demokrasi' akhirnya melabuhkan ujung tinta merahnya di lambang partai yang paling 'akrab' dan dikenalinya dgn baik selama 5 tahun terakhir ini. Saya sepakat dgn tulisan M.Qodari, direktur eksekutif Indo Barometer Jakarta yg menegaskan bahwa 'iklan' yaitu sebagai salah satu metode kampanye akan sangat menentukan hasil. Iklan tidak berdiri sendiri. Ia harus didasarkan figur yg populer, program kerja yg populis dan cara beriklan yg tepat. Apa pun itu, besarnya peran iklan dalam mendongkrak popularitas partai merupakan hal yg nyata. Bukan hanya 'tagline' yg diusung, tetapi juga iklan layanan masyarakat adalah iklan yg masif. Sistem 'massa mengambang' yg digunakan orba dan masih ditiru oleh beberapa partai saat ini tampaknya tidak lagi efektif untuk diterapkan. Dan saya sebagai warga negara yg awam yg juga berada dalam keadaan "turbulensi kognitif afektif dan semiotik" atau 'kekenyangan pesta kampanye' terbukti telah 'merekam, menerima dan memahami iklan-iklan' tertentu yg sering saya terima, dalam alam bawah sadar saya sehingga membuat saya merasa percaya dgn program-programnya, merasa mengenalnya dgn baik dan rasa-rasanya 'cocok' dgn visi misi kebangsaan saya, sebagaimana ribuam pemilih lainnya.. Maka akhirnya, di hari pemilihan umum ini, saya pun mencontreng lambang partainya dgn optimis, ikhlas dan yakin bhw semua akan berjalan dgn 'baik-baik' saja seperti tahun-tahun sebelumnya. Semoga.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda